Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III
Sebelum membahas lebih spesifik mengenai model pendekatan dari implementasi kebijakan, maka terlebih dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud implementasi kebijakan itu sendiri. Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya, implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Dalam implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.
A. Implementasi Kebijakan Publik Model George. C. Edward III
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward III ini dinamakan dengan Direct and Indirect Impact of Implementation. Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: (1) komunikasi; (2) sumber daya; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi.
1) Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut George C. Edward III, adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya lebih lanjut, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka jalankan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementator akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.
Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut, yaitu:
a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula.
b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureucrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu).
c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan).
2) Sumber daya
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah sumberdaya. Adapun indikator sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf; dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan tersebut, diperlukan penambahan jumlah staf yang memadai serta kecakapan dan keahlian dalam pengimplementasian kebijakan itu sendiri.
b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan, serta informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
c. Wewenang; kewenangan sangat mempengaruhi kekuatan para implementor dimata publik. Jika wewenang ini nihil, maka dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
d. Fasilitas; fasilitas fisik (sarana dan prasarana) juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan serta dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan tersebut.
3) Disposisi
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan kebijakan ingin efektif maka para pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi bias. Berikut hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, antara lain:
a. Pengangkatan birokrat; pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi untuk kepentingan masyarakat.
b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu tehnik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan.
4) Struktur birokrasi
Variabel keempat, menurut Edward III, yaitu struktur birokrasi. Kelemahan struktur birokrasi akan memungkinkan sebuah kebijakan tidak dapat terlaksana atau terrealisasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yng tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
B. Implementasi Kebijakan “Pendidikan Gratis Yang Diprogramkan Oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (SulSel)”
Pada tahun 2008 lalu, provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencanangkan diri sebagai provinsi pertama di Indonesia yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan lanjutan tingkat atas. Pelaksanaan pendidikan gratis di Sulsel berasal dari 60 persen dari APBD provinsi dan 40 persen dari APBD Kabupaten dan Kota.
Program pendidikan gratis yang dicanangkan Pemprov Sulsel dan pemerintah Kabupaten/ kota, sebenarnya memberikan kesempatan kepada anak usia wajib belajar untuk mendapatkan pendidikan. Idenya, tak ada lagi anak usia belajar yang tidak mendapatkan pendidikan hanya karena alasan keterbatasan dana.
Hingga saat ini, implementasi kebijakan pendidikan gratis di Sulsel telah berjalan sekitar 2,5 tahun. Namun penerapannya pun masih dilingkupi berbagai masalah. Polemik anggaran pendidikan gratis yang menuai banyak kontroversi menjadi salah satu pokok permasalahan yang mendasari dampak pengimplementasian program ini.
Pemerintah pusat sudah memberikan dana BOS untuk menggratiskan pendidikan. Bagi sekolah yang ingin meningkatkan mutu pendidikan atau sekolah yang berstandar internasional tentunya memerlukan dana ekstra. Dana BOS yang ada tak mencukupi untuk itu, sehingga dibebankan ke orangtua murid.
Itu berarti bahwa sumber pembiayaan dari program ‘pendidikan gratis’ ini dapat berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orang tua. Apalagi, masing-masing sekolah memiliki kebijakan berbeda menyangkut besaran iuran yang mesti ditanggung oleh sekolah dan orang tua. Kalaupun pemda memberikan subsidi iuran sekolah, tak terelakkan, masih ada orang tua di sekolah tertentu masih dibebani oleh sejumlah iuran sekolah.
Dengan demikian, pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena ada komponen yang harus dibiayai para orangtua murid untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dampak dari implementasi kebijakan ini perlu dilihat secara komprehensif. Yang perlu dicermati yakni kebijakan pendidikan gratis ini jangan sampai mengorbankan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari bagaimana disiplin moral tenaga pendidik (guru) maupun kepala sekolah. Selain itu, dampak kebijakan pendidikan gratis terhadap pemenuhan standar nasional pendidikan, seperti standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses pembelajaran, standar evaluasi pendidikan, dan standar pengelolaan pendidikan perlu menjadi perhatian para stakeholder dalam pembuat kebijakan.
C. Implementasi Kebijakan ‘Pendidikan Gratis’ menurut Implementasi Kebijakan Model ‘George C. Edward III’
Kebijakan Pendidikan Gratis yang telah diimplementasikan diberbagai daerah di Indonesia ternyata tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Sulsel yang menjadi salah satu daerah yang melaksanakan program pendidikan gratis untuk beberapa kabupaten/kota memiliki sejumlah kendala yang cukup mengundang perhatian publik.
Kebijakan pendidikan gratis memang menggemparkan telinga seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, pendidikan yang merupakan harga mati bagi peningkatan kualitas SDM Indonesia dimudahkan dengan adanya pembebasan atau penggratisan biaya-biaya pendidikan/ sekolah.
Namun yang kemudian menjadi permasalahan, apakah kali ini pada aplikasinya telah berhasil atau justru sebaliknya kebijakan pemerintah tersebut hanya akan menambah daftar panjang kegagalan kebijakan pemerintah?. Tetapi sebagai pewaris bangsa, kita pun harus siap ikut mewujudkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut.
Jika menyinggung keberhasilan sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tentu tidak terlepas dari pendekatan yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Salah satu pendekatan implementasi kebijakan yang dapat digunakan untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah kebijakan, khususnya ‘pendidikan gratis’ yaitu model George C. Edward III.
Pada intinya, keberhasilan implementasi sebuah kebijakan dapat dilihat dari empat aspek, menurut Edward III, antara lain : komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Ø Komunikasi
Jika diasumsikan dengan variabel komunikasi pada implementasi kebijakan oleh Edward III, maka permasalahan anggaran pendidikan gratis menjadi polemik besar. Hal ini dikarenakan anggaran pendidikan yang tidak jelas proporsinya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Permasalahan tersebut akan menjadi perhatian penting bagi pemerintah, bahwa sebelum melakukan implementasi kebijakan, diperlukan adanya sebuah komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku pembuat kebijakan. Komunikasi yang dimaksud ialah adanya transmisi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam mengalokasikan dan menghitung anggaran pembiayaan pendidikan gratis. Dana BOS yang disalurkan oleh pemerintah pusat sedapat mugkin memaksimalkan pendanaan operasional sekolah. Sedangkan pemerintah daerah pun ikut andil untuk menghitung biaya satuan tiap sekolah di daerahnya dengan memaksimalkan kekurangan BOS yang tersedia.
Melalui komunikasi dan transmisi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal perhitungan biaya pendidikan gratis tentu akan lebih mengurangi permasalahan pendanaan operasional tiap sekolah.
Ø Sumberdaya
Keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan gratis juga dilihat dari aspek sumberdayanya, dimana segala sumberdaya yang berperan dalam proses implementasi kebijakan harus sinkron demi pencapaian tujuan kebijakan.
Pendidikan gratis yang ditetapkan oleh pemerintah berawal dari kesadaran akan pentingnya sebuah pendidikan dalam sebuah negara. Penggalakkan program pendidikan gratis yang merata dan berkualitas tentu tidak terlepas dari wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku sumber daya manusia yang berperan dalam menangani permasalahan pendidikan di Indonesia, yakni dengan menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk seluruh warga Indonesia yang memenuhi wajib belajar tanpa membedakan si kaya dan si miskin.
Sumber daya selanjutnya yang menjadi pendukung keberhasilan kebijakan pendidikan gratis ini yaitu mengenai informasi dan fasilitas. Informasi dan transparansi prosedur kebijakan dari pemerintah mengenai besarnya anggaran pendanaan sekolah gratis perlu dimaksimalkan kepada masyarakat dan sekolah-sekolah yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menerima informasi yang jelas dan tidak merasa dibohongi. Dan terakhir, yaitu mengenai fasilitas yang berkaitan dengan anggaran kebijakan baik untuk operasional ataupun sarana dan prasarana pendidikan gratis. Yang perlu dicermati bahwa, pemerintah perlu mengalokasikan dana yang cukup untuk BOS dan dana untuk sarana-prasarana lainnya sebelum melaksanakan implementasi kebijakan pendidikan gratis ini agar tidak menimbulkan banyak kekisruhan dalam pendanaan nantinya.
Ø Disposisi
Dalam mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, diperlukan adanya disposisi yang jelas. Artinya sebelum melaksanakan kebijakan, pemerintah selaku pembuat kebijakan perlu memiliki sikap ketegasan dan komitmen untuk menjalankan program pendidikan gratis ini. Kebijakan pendidikan gratis ini tidak hanya sampai pada tataran konsep, tetapi sampai pada taraf implementasi yang sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan. Dan yang menjadi harapan kemudian, bahwa program pendidikan gratis ini tidak hanya dijadikan sebagai tameng untuk kepentingan politis semata, tetapi bentuk realisasi tindakan yang nyata dapat dirasakan betul oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ø Struktur birokrasi
Edward menjelaskan bahwa berhasil tidaknya implementasi sebuah kebijakan dapat dilihat dari kerjasama oleh banyak orang atau banyak pihak. Dalam kebijakan pendidikan gratis ini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menumbuhkan semangat kerja sama yang baik dan efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pembagian pendanaan yang telah ditetapkan diharapakan dapat dijalankan sesuai tanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah Pusat menyalurkan dana Bos untuk membiayai operasional sekolah. Pemerintah provinsi berperan menanggung 40 persen dari APBD, sedangkan pemerintah kota/kabupaten menanggung 60 persen dar APBD dari total alokasi anggaran program pendidikan gratis.
Sebagai kesimpulan terakhir, bahwa kebijakan pendidikan gratis di Indonesia tidak dapat dikatakan berhasil karena melihat banyaknya hal yang masih perlu dibenahi baik dari taraf konsep maupun implementasinya. Berdasarkan model pendekatan implementasi oleh Edward III, tingkat komunikasi masih belum efektif antara para pelaksana kebijakan pendidikan, kesatuan sumberdaya yang berperan dalam implementasi kebijakan pendidikan juga masih belum memadai, adanya disposisi pemerintah yang kurang konsisten dan belum terarah, sertas struktur birokrasi yang masih perlu dibenahi kembali menjadi PR bagi pemerintah dan semua stakeholder dalam pembuatan kebijakan demi sebuah pencapaian arah kebijakan pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sumber :
- Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.